BAB I PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Peta
adalah gambaran permukaan bumi pada bidang datar dengan skala tertentu melalui
suatu sistem proyeksi. Pada awal abad ke 2 (87M -150M), Claudius Ptolomaeus
mengemukakan mengenai pentingnya peta. Kumpulan dari peta-peta karya
Claudius Ptolomaeus dibukukan dan diberinama “Atlas Ptolomaeus”. Ilmu yang
membahas mengenai peta adalah kartografi. Sedangkan orang ahlimembuat peta
disebut kartografer
- Rumusan
masalah
Adapun
rumusan masalahnya, yaitu ?
1.
Apa pengertian PETA ?
2.
Apa jenis-jenis PETA ?
3.
Bagaiman fungsi PETA ?
4.
Apa saja komponen PETA ?
5.
Bagaimana penyusunan PETA
?
3. Tujuan
1.
Adapun tujuan dari
makalah ini, yaitu:
2.
Untuk mengetahui
pengertian PETA.
3.
Untuk mengetahui
jenis-jenis PETA.
4.
Untuk mengetahui fungsi
PETA.
5.
Untuk mengetahui komponen
PETA.
6.
Untuk mengetahui
bagaimana cara penyusunan PETA.
BAB II
PEMBAHASAN
Proyeksi Peta
A.
Pengertian
Proyeksi Peta
Persoalan
ditemui dalam upaya menggambarkan garis yang nampak lurus pada muka lengkungan
bumi ke bidang datar peta. Bila cakupan daerah pengukuran dan penggambaran
tidak terlalu luas, seperti halnya dalam ilmu ukur tanah (plane surveying)
yang muka lengkungan bumi bisa dianggap datar maka tidak ditemui perbedaan yang
berarti antara unsur di muka bumi dan gambarannya di peta.
Proyeksi
peta adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau
keseluruhan permukaan tiga dimensi yang secara kasaran berbentuk bola ke
permukaan datar dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Dalam proyeksi
peta diupayakan sistem yang memberikan hubungan antara posisi titik-titik di
muka bumi dan di peta.
Bentuk
bumi bukanlah bola tetapi lebih menyerupai ellips 3 dimensi atau ellipsoid.
Istilah ini sinonim dengan istilah spheroid yang digunakan untuk
menyatakan bentuk bumi. Karena bumi tidak uniform, maka digunakan istilah geoid
untuk menyatakan bentuk bumi yang menyerupai ellipsoid tetapi dengan bentuk
muka yang sangat tidak beraturan.
Untuk
menghindari kompleksitas model matematik geoid, maka dipilih model ellipsoid
terbaik pada daerah pemetaan, yaitu yang penyimpangannya terkecil terhadap
geoid. WGS-84 (World Geodetic System) dan GRS-1980
(Geodetic Reference System) adalah ellipsoid terbaik untuk
keseluruhan geoid. Penyimpangan terbesar antara geoid dengan ellipsoid WGS-84
adalah 60 m di atas dan 100 m di bawah-nya. Bila ukuran sumbu panjang ellipsoid
WGS-84 adalah 6 378 137 m dengan kegepengan 1/298.257, maka rasio penyimpangan
terbesar ini adalah 1 / 100 000. Indonesia, seperti halnya negara lainnya,
menggunakan ukuran ellipsoid ini untuk pengukuran dan pemetaan di Indonesia.
WGS-84
"diatur, diimpitkan" sedemikian rupa diperoleh penyimpangan terkecil
di kawasan Nusantara RI. Titik impit WGS-84 dengan geoid di Indonesia dikenal
sebagai datum Padang (datum geodesi relatif) yang digunakan sebagai
titik reference dalam pemetaan nasional. Sebelumnya juga dikenal datum
Genuk di daerah sekitar Semarang untuk pemetaan yang dibuat Belanda. Menggunakan
ER yang sama – WGS 84, sejak 1995 pemetaan nasional di Indonesia menggunakan
datum geodesi absolut. DGN-95. Dalam sistem datum absolut ini, pusat ER
berimpit dengan pusat masa bumi.
Untuk
memudahkan rekonstruksi proyeksi peta dari titik di muka bumi maka digunakan
model spheroid dengan volume yang sama dengan spheroid terbaik. Rekonstruksi
proyeksi peta yang baik adalah yang bisa meminimkan distorsi dalam hal: luas,
bentuk, arah dan jarak. Dalam praktek tak ada satupun sistem proyeksi peta yang
bisa menghasilkan peta dengan keempat faktor luas, bentuk, arah dan jarak tidak
mengalami distorsi. Upaya mempertahan salah satu unsur berakibat
terjadinya distorsi pada unsur yang lain.
Sistem
proyeksi peta dibuat untuk mereduksi sekecil mungkin distorsi tersebut dengan:
· Membagi daerah yang dipetakan menjadi bagian-bagian
yang tidak terlalu luas, dan
· Menggunakan bidang peta berupa bidang datar atau
bidang yang dapat didatarkan tanpa mengalami distorsi seperti bidang kerucut
dan bidang silinder.
Kebanyakan
orang enggan untuk berpindah atau ganti dari satu sistem proyeksi peta ke
sistem proyeksi peta yang lain. Namun dengan berkembang majunya teknologi
komputer dan komunikasi dengan terapannya dalam bidang pemetaan, seperti GPS
dan GIS, maka perpindahan sistem proyeksi merupakan hal yang penting dan untuk
dikerjakan.
B. Tujuan dan Cara Proyeksi Peta
Sistem Proyeksi
Peta dibuat dan dipilih untuk:
· Menyatakan posisi titik-titik pada permukaan bumi ke
dalam sistem koordinat bidang datar yang nantinya bisa digunakan untuk
perhitungan jarak dan arah antar titik.
· Menyajikan secara grafis titik-titik pada permukaan bumi
ke dalam sistem koordinat bidang datar yang selanjutnya bisa digunakan untuk
membantu studi dan pengambilan keputusan berkaitan dengan topografi, iklim,
vegetasi, hunian dan lain-lainnya yang umumnya berkaitan dengan ruang yang
luas.
Cara proyeksi
peta bisa dipilah sebagai:
· Proyeksi langsung (direct
projection): Dari ellipsoid langsung ke bidang proyeksi.
· Proyeksi tidak langsung (double
projection): Proyeksi dilakukan menggunakan "bidang" antara,
ellipsoid ke bola dan dari bola ke bidang proyeksi.
Pemilihan
sistem proyeksi peta ditentukan berdasarkan pada:
· Ciri-ciri tertentu atau asli yang ingin dipertahankan
sesuai dengan tujuan pembuatan / pemakaian peta,
· Ukuran dan bentuk daerah yang akan dipetakan,
· Letak daerah yang akan dipetakan.
C. Pembagian Sistem Proyeksi Peta
Secara garis
besar sistem proyeksi peta bisa dikelompokkan berdasarkan pertimbangan
ekstrinsik dan intrinsik.
C.1 Pertimbangan Ekstrinsik:
Bidang
proyeksi yang digunakan:
· Proyeksi azimutal / zenital:
Bidang proyeksi bidang datar.
· Proyeksi kerucut: Bidang
proyeksi bidang selimut kerucut.
· Proyeksi silinder: Bidang
proyeksi bidang selimut silinder.
Persinggungan
bidang proyeksi dengan bola bumi:
· Proyeksi Tangen: Bidang
proyeksi bersinggungan dengan bola bumi.
· Proyeksi Secant: Bidang
Proyeksi berpotongan dengan bola bumi.
· Proyeksi "Polysuperficial":
Banyak bidang proyeksi
Posisi
sumbu simetri bidang proyeksi terhadap sumbu bumi:
· Proyeksi Normal: Sumbu
simetri bidang proyeksi berimpit dengan sumbu bola bumi.
· Proyeksi Miring: Sumbu simetri
bidang proyeksi miring terhadap sumbu bola bumi.
· Proyeksi Traversal: Sumbu
simetri bidang proyeksi ^ terhadap sumbu bola bumi.
C.2 Pertimbangan Intrinsik:
Sifat asli
yang dipertahankan:
· Proyeksi Ekuivalen: Luas daerah
dipertahankan: luas pada peta setelah disesuikan dengan skala peta = luas di
asli pada muka bumi.
· Proyeksi Konform: Bentuk
daerah dipertahankan, sehingga sudut-sudut pada peta dipertahankan sama dengan
sudut-sudut di muka bumi.
· Proyeksi Ekuidistan: Jarak antar
titik di peta setelah disesuaikan dengan skala peta sama dengan jarak asli di
muka bumi.
Cara
penurunan peta:
· Proyeksi Geometris: Proyeksi
perspektif atau proyeksi sentral.
· Proyeksi Matematis: Semuanya
diperoleh dengan hitungan matematis.
· Proyeksi Semi Geometris: Sebagian
peta diperoleh dengan cara proyeksi dan sebagian lainnya diperoleh dengan cara
matematis.
Tabel Kelas proyeksi peta
KELAS
|
||||
Pertimbangan
EKSTRINSIK |
1. Bid.
Proyeksi
|
Bid. Datar
|
Bid. Kerucut
|
Bid. Silinder
|
2. Persinggungan
|
Tangent
|
Secant
|
Polysuperficial
|
|
3. Posisi
|
Normal
|
Oblique/Miring
|
Transversal
|
|
Pertimbangan
INTRINSIK |
4. Sifat
|
Ekuidistan
|
Ekuivalen
|
Konform
|
5. Generasi
|
Geometris
|
Matematis
|
Semi Geometris
|
Pertimbangan
dalam pemilihan proyeksi peta untuk pembuatan peta skala besar adalah:
· Distorsi pada peta berada pada batas-batas kesalahan
grafis
· Sebanyak mungkin lembar peta yang bisa digabungkan
· Perhitungan plotting setiap lembar sesederhana
mungkin
· Plotting manual bisa dibuat dengan cara
semudah-mudahnya
· Menggunakan titik-titik kontrol sehingga posisinya
segera bisa diplot.
Gambar Jenis bidang proyeksi dan
kedudukannya terhadap bidang datum
D. Peristilahan Dalam Proyeksi Peta
Beberapa
ketentuan yang berhubungan dengan pemodelan bumi sebagai spheroid adalah:
a. Meridian
dan meridian utama
b. Paralel dan
paralel NOL atau ekuator.
c. Bujur (longitude
- j ), Bujur Barat (0° - 180° BB) dan Bujur Timur (0° - 180° BT)
d. Lintang ( latitude
- l ), Lintang Utara (0° -90° LU) dan Lintang Selatan (0° –90° LS)
Gambar Bumi sebagai spheroid.
E. Bidang Datum Dan Bidang Proyeksi:
· Bidang datum adalah bidang yang akan digunakan untuk
memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinatnya (j ,l ).
· Bidang proyeksi adalah bidang yang akan digunakan
untuk memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinatnya (X,Y).
F. Ellipsoid:
a. Sumbu panjang (a) dan sumbu
pendek (b)
b. Kegepengan ( flattening ) - f = (a - b)/b
Gambar
: Geometri elipsoid.
c. Garis geodesic adalah kurva terpendek yang
menghubungkan dua titik pada permukaan elipsoid.
d. Garis
Orthodrome adalah proyeksi garis geodesic pada bidang proyeksi.
e. Garis
Loxodrome ( Rhumbline) adalah garis (kurva) yang menghubungkan titik-titik
dengan azimuth a yang tetap.
Gambar
Rhumbline atau loxodrome menghubungkan titik-titik dengan azimuth yang
tetap.
Gambar : orthodrome dan
loxodrome pada proyeksi gnomonis dan proyeksi mercator.
G. Proyeksi
Polyeder
Sistem
proyeksi Kerucut, Normal, Tangent dan Konform
Gambar Proyeksi kerucut: bidang datum dan bidang
proyeksi.
Gambar :
Proyeksi polyeder: bidang datum dan bidang proyeksi.
Digunakan
untuk daerah 20' x 20' ( 37 km x 37 km ), sehingga bisa memperkecil distorsi.
Bumi dibagi dalam jalur-jalur yang dibatasi oleh dua garis paralel dengan
lintang sebesar 20' atau tiap jalur selebar 20' diproyeksikan pada kerucut
tersendiri. Bidang kerucut menyinggung pada garis paralel tengah yang merupakan
paralel baku - k = 1.
Meridian
tergambar sebagai garis lurus yang konvergen ke arah kutub, ke arah KU untuk
daerah di sebelah utara ekuator dan ke arah KS untuk daerah di selatan ekuator.
Paralel-paralel tergambar sebagai lingkaran konsentris. Untuk jarak-jarak
kurang dari 30 km, koreksi jurusan kecil sekali sehingga bisa diabaikan. Konvergensi
meridian di tepi bagian derajat di wilayah Indonesia maksimum 1.75'.
Gambar 7.3 :
Lembar proyeksi peta polyeder di bagian lintang utara dan lintang selatan
Gambar 7.4 :
Konvergensi meridian pada proyeksi polyeder.
Secara praktis, pada kawasan 20'
x 20', jarak hasil ukuran di muka bumi dan jarak lurusnya di bidang proyeksi
mendekati sama atau bisa dianggap sama.
Proyeksi polyeder di Indonesia
digunakan untuk pemetaan topografi dengan cakupan:
94° 40 BT - 141° BT, yang dibagi sama tiap 20' atau menjadi 139 bagian,
11° LS - 6° LU, yang diabgi tiap 20' atau menjadi 51 bagian.
94° 40 BT - 141° BT, yang dibagi sama tiap 20' atau menjadi 139 bagian,
11° LS - 6° LU, yang diabgi tiap 20' atau menjadi 51 bagian.
Penomoran dari barat ke timur: 1, 2,
3, ... , 139,
dan penomoran dari LU ke LS: I, II, III, ... , LI.
dan penomoran dari LU ke LS: I, II, III, ... , LI.
H. Penerapan Proyeksi Polyeder di Indonesia
Sistem Penomoran Bagian Derajat Proyeksi Polyeder
Peta
dengan proyeksi Polyeder dibuat di Indonesia sejak sebelum Perang Dunia II,
meliputi peta-peta di pulau Jawa, Bali dan Sulawesi.
Wilayah
Indonesia dengan 94° 40' BT - 141° BT dan 6° LU
- 11° LS dibagi dalam 139 x LI bagian
derajat, masing-masing 20' x 20'.
Tergantung
pada skala peta, tiap lembar bisa dibagi lagi dalam bagian yang lebih kecil.
Cara
Menghitung Pojok Lembar Peta Proyeksi Polyeder
Setiap bagian
derajat mempunyai sistem koordinat masing-masing. Sumbu X
berimpit dengan meridian tengah dan sumbu Y tegak lurus sumbu X
di titik tengah bagian derajatnya. Sehingga titik tengah setiap bagian
derajat mempunyai koordinat O.
Koordinat
titik-titik lain seperti titik triangualsi dan titik pojok lembar peta dihitung
dari titik pusat bagian derajat masin-masing bagian derajat. Koordinat
titik-titik sudut (titik pojok) geografis lembar peta dihitung berdasarkan
skala peta, misal 1 : 100 000, 1 : 50 000, 1 : 25 000 dan 1 : 5 000.
Pada skala 1 :50
000, satu bagian derajat proyeksi polyeder (20' x 20') tergambar dalam 4 lembar
peta dengan penomoran lembar A, B, C dan D. Sumbu Y
adalah meridian tengah dan sumbu X adalah garis tegak lurus sumbu
Y yang melalui perpotongan meridian tengah dan paralel tengah.
Setiap lembar peta mempunyai sistem sumbu koordinat yang melalui titik tengah
lembar dan sejajar sumbu X,Y dari sistem koordinat
bagian derajat.
I.
Keuntungan dan Kerugian Sistem Proyeksi
Polyeder
Keuntungan
proyeksi polyeder: Kareana perubahan jarak dan sudut pada satu bagian
derajat 20' x 20', sekitar 37 km x 37 km bisa diabaikan, maka proykesi ini baik
untuk digunakan pada pemetaan teknis skala besar.
Kerugian
proyeksi polyeder:
a. Untuk
pemetaan daerah luas harus sering pindah bagian derajat, memerlukan tranformasi
koordinat,
koordinat,
b. Grid kurang
praktis karena dinyatakan dalam kilometer fiktif,
c. Tidak
praktis untuk peta skala kecil dengan cakupan luas,
d. Kesalahan
arah maksimum 15 m untuk jarak 15 km.
10. Proyeksi Universal
Traverse Mercator ( UTM ):
UTM merupakan
sistem proyeksi Silinder, Konform, Secant,
Transversal
Ketentuan
selanjutnya:
· Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah
meridian yang disebut meridian standar dengan faktor skala 1.
· Lebar zone 6° dihitung dari 180° BB dengan nomor zone
1 hingga ke 180° BT dengan nomor zone 60. Tiap zone mempunyai meridian tengah
sendiri
· Perbesaran di meridian tengah = 0.9996
· Batas paralel tepi atas dan tepi bawah adalah 84° LU
dan 80° LS.
Pada Gambar
10.1 berikut ditunjukkan perpotongan silinder
terhadap bola bumi dan gambar XYZ menujukkan penggambaran proyeksi dari bidang
datum ke bidang proyeksi.
Gambar 10.2 :
Kedudukan bidang proyeksi silinder terhadap bola bumi pada proyeksi UTM
Gambar 10.3 :
Proyeksi dari bidang datum ke bidang proyeksi.
Gambar 10.4 : Pembagian
zone global pada proyeksi UTM.
Pada kedua gambar tersebut, ekuator tergambar sebagai garis lurus dan
meridian-meridian tergambar sedikit melengkung. Karena proyeksi UTM bersifat konform,
maka paralel-paralel juga tergambar agak melengkung sehingga perpotongannya
dengan meridian membentuk sudut siku. Ekuator tergambar sebagai garis lurus dan
dipotong tegak lurus oleh proyeksi meridian tengah yang juga terproyeksi
sebagai garis lurus melalui titik V dan VI. Kedua garis ini digunakan sebagai
sumbu sistem koordinat (X,Y) proyeksi pada setip zone.
Sistem grid pada proyeksi UTM
terdiri dari garis lurus yang sejajar meridian tengah. Lingkaran tempat
perpotongan silinder dengan bola bumi tergambar sebagai garis lurus. Pada
daerah
I, V, II dan III, VI, IV gambar proyeksi mengalami pengecilan, sedangkan pada daerah IA, IIB, IIIC dan IVD mengalami perbesaran. Garis tebal dan garis putus-putus pada gambar menunjukkan proyeksi lingkaran-lingkaran melalui I, II, III dan IV yang tidak mengalami distorsi setelah proyeksi.
I, V, II dan III, VI, IV gambar proyeksi mengalami pengecilan, sedangkan pada daerah IA, IIB, IIIC dan IVD mengalami perbesaran. Garis tebal dan garis putus-putus pada gambar menunjukkan proyeksi lingkaran-lingkaran melalui I, II, III dan IV yang tidak mengalami distorsi setelah proyeksi.
Notasi sistem proyeksi UTM:
L
|
Lintang,
positif ke utara katulistiwa
|
L'
|
Lintang
titik kaki pada Meridian Tengah
|
B
|
Bujur,
positif ke timur Meridian Greenwich
|
B'
|
Bujur
Meridian Tengah
|
I
|
Subskrip
untuk menunjukkan nomor urutan titik
|
dL
|
Li
- Li-1
|
dB
|
Bi
- Bi-1
|
Db
|
B - B' , beda
bujur dihitung dari Meridian Tengah.
|
U'
|
Jarak grid
suatu titik diukur dari katulistiwa
|
T'
|
Jarak grid
suatu titik diukur dari Meridian Tengah.
|
U
|
Ordinat grid
suatu titik, jika titik di sebelah utara katulistiwa, U = U'
m
jika titik di sebelah selatan katulistiwa, U = 10 000 000 - U' m |
T
|
Absis grid
suatu titik, jika titik di sebelah timur Meridian Tengah, T = 500
000 + T' m, jika titik di sebelah barat Meridian Tengah, T
= 500 000 - T' m.
|
N,
M
|
Jari-jari
kelengkungan bidang normal dan jari-jari kelengkungan bidang meridian.
|
A
|
Azimuth
geodesi, adalah sudut antara meridian spheroid dan garis geodesik searah
jarum jamdari utara sebenarnya sampai 360°
.
|
Ag
|
Azimuth grid,
adalah sudut antara utara grid dan garis geodesik searah jarum
jamdari utara sebenarnya sampai 360°
.
|
As
|
Sudut
jurusan grid, adalah sudut antara utara grid dan garis penghubung lurus 2
titik searah jarum jam sampai 360°
.
|
Kg
|
Konvergensi
grid, adalah sudut antara azimuth geodesi dan azimuth grid.
|
Km
|
Konvergensi
meridian adalah perubahan azimuth dari garis geodesi antara dua titik di
spheroid. Azimuth belakang = Azimuth muka + Konvergensi meridian ± 180°
.
A2-1 = A1-2 + Km ± 180° . |
Kn
|
Sudut kelengkungan
garis adalah perubahan azimuth grid antara 2 titik pada busur.
Ag i-1 = Ag i + K n ± 180° . |
Tmt
|
Koreksi
kelengkungan busur, adalah sudut antara busur dan garis lurus (arc-to-chord).
As = Ag + tmt = A + Kg + tmt |
S
|
Jarak
spheroid = jarak di atas spheroid sepanjang garis geodesi atau sepanjang
irisan normal busur.
|
S
|
Jarak grid
adalah panjang busur sebagai proyeksi dari jarak geodesi (jarak di spheroid)
|
D
|
Jarak di
bidang datar, yaitu garis penghubung lurus antara dua titik di bidang datar.
|
M
|
Panjang
meridian pada spheroid dihitung dari katulistiwa.
|
a,
b
|
Setengah
sumbu panjang dan sumbu pendek ellipsoid
|
e2
|
Eksentrisitas
ellipsoid = (a2 - b2)/a2
|
e'2
|
Eksentrisitas
kedua = (a2 - b2)/b2
|
k0
|
Angka
perbesaran (faktor skala) pada meridian tengah = 0.9996.
|
K
|
Angka
perbesaran titik di sembarang tempat.
|
K
|
Angka
perbesaran garis di sembarang tempat.
|
Konvergensi Meridian:
Gambar 10.5: Konvergensi
Meridian pada proyeksi UTM
11. Ukuran
Lembar Peta dan Cara Menghitung Titik Sudut Lembar Peta UTM
Susunan Sistem Koordinat
Ukuran satu
lembar bagian derajat adalah 6° arah meridian 8° arah paralel (6° x 8° )
atau sekitar (665 km x 885 km).
Pusat
koordinat tiap bagian lembar derajat adalah perpotongan meridian tengah dengan
"paralel" tengah. Absis dan ordinat semu di (0,0) adalah + 500 000 m,
dan + 0 m untuk wilayah di sebelah utara ekuator atau + 10 000 000 m untuk
wilayah di sebelah selatan ekuator.
Pada gambar
diatas menunjukkan sistem koordinat dan faktor skala pada setiap lembar peta.
Perhatikan pada absis antara 320 000 m – 500 000 m dan 680 000 m – 500 000 m
terjadi pengecilan faktor skala dari 1 ke 0.9996. Sedangkan pada selang diluar
kedua daerah ini terjadi perbesaran faktor skala. Misalnya, pada
tepi zone atau sekitar 300 km di sebelah barat dan timur meriadian tengah,
untuk jarak 1 000 m pada meridian tengah akan tergambar 1.000 070 x 1 000 m = 1
000.70 m, atau terjadi distorsi sekitar 70 cm / 1 000 m.
Gambar 11.1 :
Sistem koordinat proyeksi peta UTM.
Gambar 11.2:
Grafik faktor skala proyeksi peta UTM.
Lembar Peta UTM Global
Penomoran setiap
lembar bujur 6° dari 180° BB – 180° BT
menggunakan angka Arab
1 – 60.
1 – 60.
Penomoran setiap
lembar arah paralel 80° LS – 84° LU menggunakan huruf
latin besar dimulai dengan huruf C dan berakhir huruf X
dengan tidak menggunakan huruf I dan O.
Selang seragam setiap 8° mulai 80° LS – 72° LU
atau C – W.
Menggunakan
cara penomoran seperti itu, secara global pada proyeksi UTM, wilayah Indonesia
di mulai pada zone 46 dengan meridian sentral 93° BT dan berakhir pada zone 54
dengan meridian sentral 141° BT, serta 4 satuan arah lintang, yaitu L, M, N dan
P dimulai dari 15° LS – 10° LU.
Lembar Peta UTM Skala 1 : 250 000 di Indonesia
a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 250 000
adalah 1 ½° x 1° .
Sehingga untuk satu bagian derajat 6° x 8° terbagi dalam 4 x 8 = 32 lembar.
Sehingga untuk satu bagian derajat 6° x 8° terbagi dalam 4 x 8 = 32 lembar.
b. Angka Arab 1 - 31
untuk penomoran bagian lembar setiap 1 ½° pada arah 94½° BT –
141° BT.
c. Angka Romawi I – XVII
untuk penomoran bagian lembar setiap 1° pada arah
6° LU – 11° LS.
6° LU – 11° LS.
Lembar Peta UTM Skala 1 : 100 000 di Indonesia
a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 100 000
adalah 30’ x 30’.
b. Satu lembar peta skala 1 : 250 000 dibagi
menjadi 6 bagian lembar peta skala 1 : 100 000.
c. Angka Arab 1 – 94
untuk penomoran bagian lembar setiap 30’ pada arah
94° BT – 141° BT.
94° BT – 141° BT.
d. Angka Arab 1 - 36
untuk penomoran bagian lembar setiap 30’ pada arah
6° LU – 12° LS.
6° LU – 12° LS.
Lembar Peta UTM Skala 1 : 50 000di Indonesia
a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 50 000
adalah 15’ x 15’.
b. Satu lembar peta skala 1 : 100 000 dibagi
menjadi 4 bagian lembar peta skala 1 : 50 000.
c. Penomoran menggunakan angka Romawi I,
II, III dan IV dimulai dari pojok kanan atas searah jarum jam.
Lembar Peta UTM Skala 1 : 25 000 di Indonesia
a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 25 000
adalah 7 ½ ’ x 7 ½ ’.
b. Satu lembar peta skala 1 : 50 000 dibagi
menjadi 4 bagian lembar peta skala 1 : 25 000.
c. Penomoran menggunakan huruf latin
kecil a, b, c dan d dimulai dari pojok kanan atas searah jarum jam.
13.6.2 Kebaikan Proyeksi UTM
a. Proyeksi simetris selebar 6° untuk setiap
zone,
b. Transformasi koordinat dari zone ke zone
dapat dikerjakan dengan rumus yang sama untuk setiap zone di seluruh dunia,
c. Distorsi berkisar antara - 40 cm / 1 000
m dan 70 cm / 1 000 m.
13.7 Proyeksi TM-3
Sistem
proyeksi peta TM-3° adalah sistem proyeksi Universal Tranverse Mercator dengan
ketentuan faktor skala di meridian sentral = 0.9999 dan lebar zone = 3° .
Sistem proyeksi ini, sejak tahun 1997 digunakan oleh bekas Badan Pertanahan
Nasional (BPN) sebagai sistem koordinat nasional menggunakan datum absolut
DGN-95.
Penomoran lembar peta:
Penomoran zone
sistem proyeksi TM-3 berbasis nomor zoner UTM 46 – 54.
Nomor
Zone
|
Bujur
Meridian Sentral |
Meridian
Batas Zone
|
|
(
B0 )
|
Barat
|
Timur
|
|
46.2
|
94°
30’
|
93°
|
96°
|
47.1
|
97
30
|
96
|
99
|
47.2
|
100
.0
|
99
|
102
|
48.1
|
103
30
|
102
|
105
|
48.2
|
106
30
|
105
|
108
|
49.1
|
109
30
|
108
|
111
|
49.2
|
112
30
|
111
|
114
|
50.1
|
115
30
|
114
|
117
|
50.2
|
118
30
|
117
|
120
|
51.1
|
121
30
|
120
|
123
|
51.2
|
124
30
|
123
|
126
|
52.1
|
127
30
|
126
|
129
|
52.2
|
130
30
|
129
|
132
|
53.1
|
133
30
|
132
|
135
|
53.2
|
136
30
|
135
|
138
|
54.1
|
139
30
|
138
|
141
|
Ketentuan sistem proyeksi peta TM-3° :
a. Proyeksi : TM
dengan lebar zone 3°
b. Sumbu pertama
(Y) : Meridian sentral dari setiap zone
c. Sumbu kedua
(X) : Ekuator
d. Satuan : Meter
e. Absis semu (T)
: 200 000 meter + X
f. Ordinat semu
(U) : 1 500 000 meter + Y
g. Faktor skala
pada meridian sentral : 0.9999
Peratanyaan dan Soal Latihan
1. Buat perbandingan antara sistem proyeksi
Polyeder dan UTM.
2. Pada awal pemetaan di Indonesia, pernah
digunakan titik (6° LS, 106° 48’ 27.79’’ BT) sebagai titik pangkal koordinat.
Hitung posisi titik ini dalam lembar peta: Polyeder, UTM dan TM3 pada bergaia
skala yang anda ketahui.
Rangkuman
Sistem
proyeksi peta dipilih untuk menggambarkan rupa bumi tiga dimensi ke muka bidang
datar atau bidang yang dapat didatarkan dua dimensi dengan distorsi sesedikit
mungkin. Tak ada satu sistem proyeksi peta-pun yang mampu memproyeksikan ke
bidang datar bentuk, luas dan jarak rupa bumi sama persis tanpa distorsi.
Sistem proyeksi peta yang sekarang umum digunakan adalah UTM. Di Indonesia, UTM
dimodifikasi dengan membagi lembar peta UTM menjadi (3 x 3). Sistem proyeksi
peta UTM digunakan oleh BAKOSURTANAL untuk JKGN Orde 0 dan 1, sedangkan TM3
digunakan oleh eks Badan Pertanahan Nasional untuk JKGN Orde 2 dan 3. Peta
topografi Indonesia buatan Belanda menggunakan sistem proyeksi Polyeder.
Daftar Pustaka
1. Aryono
Prihandito, (1988), Proyeksi Peta, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
2.
Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi dan
Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 6.
3. KBK
Pemetaan Sistematik dan Rekayasa, (1997), Buku Petunjuk Penggunaan Proyeksi
TM-3 Dalam Pengukuran dan Pemetaan Kadastral, Jurusan Teknik Geodesi FTSP
ITB, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar